KETIDAKADILAN AMBANG BATAS PARLEMEN, PARTAI UMMAT MENGGUGAT KE MK

Penentuan ambang batas parlemen dalam keikutsertaan untuk memperoleh kursi anggota DPR RI berdasarkan batas perolehan suara dan jumlah suara sah secara nasional yang tertuang dalam UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pada Pasal 414 Ayat (1), dimana ternyata penentuannya secara logika tidak masuk akal dan sangat merugikan partai politik peserta pemilu. Bahwa terdapat keganjilan penentuan ambang batas parlemen empat persen (4%) yang basisnya berdasarkan suara sah syarat berbasis perolehan suara dan jumalah suara sah secara nasional, bukan perolehan kursi di beberapa Daerah Pemilihan, jadi jika disimulasikan antara perolehan kursi yang berhasil di dapat dari 47 Dapil yang memiliki jumlah pemilihnya sedikit, dibandingkan dengan perolehan kursi yang berhasil di dapat dari 19 Dapil yang memiliki jumlah pemilihnya banyak, maka partai tersebut bisa langsung melenggang ke DPR RI.

Hasil kajian dan simulasi yang telah dilakukan Partai Ummat, menunjukkan partai politik peserta pemilu nanti, bagi yang berhasil meraih kursi di setiap daerah pemilihan di luar Pulau Jawa, dan beberapa kursi di dapil Pulau Jawa sebanyak 47 kursi, atau setara dengan lebih dari delapan persen (8%) jumlah total kursi DPR RI, maka bila 47 kursi itu dikonversi menjadi suara (votes) maka hanya menjadi 3,34 persen suara sah nasional. Dengan demikian, maka partai politik tersebut otomatis tidak lolos masuk Senayan karena ambang batas parlemen atau parliamentary threshold itu dibawah empat persen (4%) suara sah nasional.

Ambang batas parlemen 4% berarti adanya suara yang terbuang sebanyak 22,08% atau bisa dikatakan sejumlah +/- 22.973.1010 suara pemilih yang terbuang. Jika dihitung dengan formula Gallagher atau Least Squares Index (Lsq), maka indeks Disproporsional terjadi peningkatan. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin tinggi besaran ambang batas, maka hasil pemilu semakin menjadi tidak proposional, disitulah Partai Ummat menggugat ke MK atas ketidakadilan aturan ini.

Sebagai contoh sebelumnya dari bentuk ketidakadilan melalui penentuan ambang batas parlemen ini, bisa dilihat pada kasus PPP, dimana dalam Pemilu 2019, mereka meraih 4,52 persen suara sah nasional, padahal hanya meraih 19 kursi dari dapil padat penduduk di sejumlah propinsi di Indonesia.

Penerapan ambang batas parlemen yang hanya berdasar atas perolehan suara sah nasional, kata Ridho, selain sangat tidak masuk akal, juga tidak proporsional, dan tidak adil. “Bahkan lebih dari itu, sangat tidak mencerminkan keterwakilan pemilih yang tersebar dan beragam di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.” 

Ridho Rahmadi mengatakan atas dasar hal ini maka Partai Ummat mengajukan Permohonan Pengujian atas Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) terhadap norma Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 22E ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Terkait hal tersebut, Ridho menegaskan bila Partai Ummat kini memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, membatalkannya demi hukum, dan melakukan perbaikan atasnya.

 “Kami akan memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar basis ambang batas perlemen atau parliamentary threshold tidak hanya didasarkan pada jumlah empat persen (4%) suara (votes), tetapi juga dari jumlah empat persen (4%) kursi di parlemen.”